Agama dan Masyarakat
Fungsi Agama Kepada Manusia
Dari segi pragmatisme, seseorang itu menganut sesuatu agama
adalah disebabkan oleh fungsinya. Bagi kebanyakan orang, agama itu berfungsi
untuk menjaga kebahagiaan hidup. Tetapi dari segi sains sosial, fungsi agama
mempunyai dimensi yang lain seperti apa yang dihuraikan di bawah:
- Memberi pandangan dunia kepada satu-satu budaya manusia.
Agama dikatankan memberi pandangan dunia kepada manusia
kerana ia sentiasanya memberi penerangan mengenai dunia(sebagai satu
keseluruhan), dan juga kedudukan manusia di dalam dunia. Penerangan bagi pekara
ini sebenarnya sukar dicapai melalui inderia manusia, melainkan sedikit
penerangan daripada falsafah. Contohnya, agama Islam menerangkan kepada umatnya
bahawa dunia adalah ciptaan Allah SWTdan setiap manusia harus menaati Allah SWT
-Menjawab pelbagai
soalan yang tidak mampu dijawab oleh manusia.
Sesetangah soalan yang sentiasa ditanya oleh manusia
merupakan soalan yang tidak terjawab oleh akal manusia sendiri. Contohnya
soalan kehidupan selepas mati, matlamat
menarik dan untuk menjawabnya adalah perlu. Maka, agama itulah berfungsi
untuk menjawab soalan-soalan ini.
- Memberi rasa kekitaan kepada sesuatu kelompok manusia.
Agama merupakan satu faktor dalam pembentukkan kelompok
manusia. Ini adalah kerana sistem agama menimbulkan keseragaman bukan sahaja
kepercayaan yang sama, malah tingkah laku, pandangan dunia dan nilai yang sama.
– Memainkan fungsi kawanan sosial.
Kebanyakan agama di dunia adalah menyaran kepada kebaikan.
Dalam ajaran agama sendiri sebenarnya telah menggariskan kod etika yang wajib
dilakukan oleh penganutnya. Maka ini dikatakan agama memainkan fungsi kawanan
sosial.
Dimensi-Dimensi Komitmen Agama
Cara Beragama:
Berdasarkan cara beragamanya :
1. Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara
ini mengikuti cara beragamanya nenek moyang, leluhur atau orang-orang dari
angkatan sebelumnya. Pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal
keagamaan yang baru atau pembaharuan. Apalagi bertukar agama, bahkan tidak ada
minat. Dengan demikian kurang dalam meningkatkan ilmu amal keagamaanya.
2. Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang
berlaku di lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara
beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada umumnya
tidak kuat dalam beragama. Mudah mengubah cara beragamanya jika berpindah
lingkungan atau masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya. Mudah bertukar
agama jika memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada
minat meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal
yang mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya.
3. Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan
rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati
ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa berasal
dari orang yang beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak
beragama sekalipun.
4. Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan
penggunaan akal dan hati (perasaan) dibawah wahyu. Untuk itu mereka selalu
berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan
penyebaran (dakwah). Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap
ahlinya dalam ilmu agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh
utusan dari Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan,
mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua.
Tipe-Tipe Kaitan Agama dalam Masyarakat
Kaitan agama dengan masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe,
meskipun tidak menggambarkan sebenarnya secara utuh (Elizabeth K. Nottingham,
1954), yaitu:
1. Masyarakat yang terbelakang dan nilai- nilai sakral
Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang.
Anggota masyarakat menganut agama yang sama. Oleh karenanya keanggotaan mereka
dalam masyarakat, dalam kelompok keagamaan adalah sama.
2. Masyarakat- masyarakat pra- industri yang sedang
berkembang
Keadaan masyarakat tidak terisolasi, ada perkembangan
teknologi yang lebih tinggi daripada tipe pertama. Agama memberikan arti dan
ikatan kepada sistem nilai dalam tipe masyarakat ini. Dan fase kehidupan sosial
diisi dengan upacara- upacara tertentu.
3. Masyarakat- masyarakat industri sekular
Masyarakat industri bercirikan dinamika dan teknologi
semakin berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan, sebagian besar penyesuaian-
penyesuaian terhadap alam fisik, tetapi yang penting adalah penyesuaian-
penyesuaian dalam hubungan kemanusiaan sendiri. Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi mempunyai konsekuensi penting bagi agama, Salah satu akibatnya
adalah anggota masyarakat semakin terbiasa menggunakan metode empiris
berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam menanggapi masalah kemanusiaan,
sehingga lingkungan yang bersifat sekular semakin meluas. Watak masyarakat
sekular menurut Roland Robertson (1984), tidak terlalu memberikan tanggapan
langsung terhadap agama. Misalnya pemikiran agama, praktek agama, dan kebiasaan-
kebiasaan agama peranannya sedikit.
Pelembagaan Agama,Konflik,dan Masyarakat dan Contoh
Kaitannya Tentang Konflik yang Ada dalam Agama dan Masyarakat.
Agama begitu universal, permanen (langgeng) dan mengatur
dalam kehidupan, sehingga bila tidak memahami agama, akan sukar memahami
masyarakat. Agama melalui wahyunya atau kitab sucinya memberikan petunjuk
kepada manusia guna memenuhi kebutuhan mendasar, yaitu selamat dunia dan di
akhirat, di dalam perjuangannya tentu tidak boleh lalai. Untuk kepentingan tersebut
perlu jaminan yang memberikan rasa aman bagi pemeluknya. Maka agama masuk dalam
sistem kelembagaan dan menjadi sesuatu yang rutin. Agama menjadi salah satu
aspek kehidupan semua kelompok sosial, merupakan fenomena yang menyebar mulai
dari bentuk perkumpulan manusia, keluarga, kelompok kerja, yang dalam beberapa
hal penting bersifat keagamaan. Dan terbentuklah organisasi keagamaan untuk
mengelola masalah keagamaan. Yang semula terbentuk dari pengalaman agama tokoh
kharismatik pendiri organisasi, kemudian menjadi organisasi kegamaan yang
terlembaga. Lembaga keagamaan berkembang sebagai pola ibadah, ide- ide,
ketentuan (keyakinan), dan tampil sebagai bentuk asosiasi atau organisasi.
Tampilnya organisasi agama akibat adanya kedalaman beragama, dan mengimbangi
perkembangan masyarakat dalam hal alokasi fungsi, fasilitas, produksi,
pendidikan dan sebagainya.
Agama Sebagai Faktor Konflik Di Masyarakat
Agama dalam satu sisi dipandang oleh pemeluknya sebagai
sumber moral dan nilai, sementara di sisi lain dianggap sebagai sumber konflik.
Menurut Afif Muhammad : Agama acap kali menampakkan diri sebagai sesuatu yang
berwajah ganda”. Sebagaimana yang disinyalir oleh John Effendi yang menyatakan
bahwa Agama pada sesuatu waktu memproklamirkan perdamaian, jalan menuju keselamatan,
persatuan dan persaudaraan. Namun pada waktu yang lain menempatkan dirinya
sebagai sesuatu yang dianggap garang-garang menyebar konflik, bahkan tak
jarang, seperti di catat dalam sejarah, menimbulkan peperangan.
Sebagaiman pandangan Afif Muhammad, Betty R. Scharf juga
mengatakan bahwa agama juga mempunyai dua wajah. Pertama, merupakan keenggaran
untuk menyerah kepada kematian, menyerah dan menghadapi frustasi.
Kedua, menumbuhkan rasa permusuhan terhadap penghancuranb
ikatan-ikatan kemanusiaan. Fakta yang terjadi dalam masyarakat bahwa
“Masyarakat” menjadi lahan tumbuh suburnya konflik. Bibitnya pun bias
bermacam-macam. Bahkan, agama bias saja menjadi salah satu factor pemicu
konflik yang ada di Masyarakat itu sendiri.
Sumber: